Senin, 19 April 2010

kata kata

Bebunyian kata-kata bahasa Indonesia itu unik sekali. Sebagian bentuk kosakata yang kini dimilikinya bergantung pada hubungan antara sikap mulut-lidah-bibir dengan sifat-sifat yang hendak diwakilkan ke dalam kata-kata tersebut. Singkatnya, asal-usul bunyi satu kata cenderung dipengaruhi mangap-mingkemnya pemakai bahasa, sejak jaman entah dulu.



Beberapa kata sifat, kata kerja dan kata benda yang mengandung sifat kecil, ringan maupun lemah, umpamanya, ternyata disuarakan dengan posisi mulut hanya membuka sedikit (kecil), bervokal i di sukukata terakhir, dan konsonan akhirnya diucap dari lidah yang menempel rapat ke bagian atas mulut (yang dengan demikian meminimalisir ruangan rongga mulut):

mungil;

ngemil

gempil;

cungkil;

upil;

pentil;

nyempil.



Sepertinya ada mekanisme pencerapan tertentu di alam pikiran para leluhur pencipta bahasa untuk merangkumi tanda-tanda di alam secara sederhana dengan ekspresi mulut mereka. Maka jadilah sebuah kata. Kebetulan-kah?



Fonem, satuan bunyi terkecil ini, layak buat diteliti lebih lanjut. Bidang yang dibahas di sini barangkali bernama rada-rada muluk: fonetik artikulatoris (jangan ngeres, Kamerad Alfa...ini bukan –toris lainnya itu). Dan intinya adalah sejarah fonem.



Para leluhur mengejawantahkan makna-makna yang mengandung sifat besar/eksesif ke dalam sikap-ucap sebaliknya dari yang di atas, yaitu membesarkan mulut senganga-nganganya, dengan vokal a:

besar;

kasar;

raya;

gajah;

marah;

parah;

begah.



Dari kali pertama bunyi-auditoris itu dinyatakan dari mulut pengguna bahasa awal, lama-lama secara akustik ia terbedakan lagi, terpisah-pisah lewat manuver cangkem, masing-masing untuk menyatakan gagasan-gagasan yang makin beragam dalam ide manusia, lalu dipakai terus-menerus ribuan tahun, lantas pelan-pelan ia jadi konvensi berupa kata tertentu yang kita pakai sehari-hari; lisan-tulisan.



Fonasi –k, contohnya, bersifat menutup, henti, menyesakkan, mampet dan sebagainya, dengan bunyi fisik yang berasal dari kontraksi otot-otot yang mengatup dari pangkal tenggorokan:

keselak;

cekik;

pilek;

henyak;

tohok;

tonjok;

goblok.



Bunyi –s dipakai dalam kata-kata yang menyatakan hal-hal miris, tajam, berlebihan, dengan suara mendesis yang memang biasanya diperdengarkan mulut subjek secara reflek ketika menanggapi situasi/objek sensational (inderawi, merangsang indera):

manis;

panas;

buas;

ganas;

pedas;

deras;

lemas.



Bahasa memang aneh tapi dahsyat. Dia adalah kekayaan manusia terbesar yang jadi perantara antara era naluriah-hewaniah ke jaman sejarah. Dan mungkin jadi batu tapal evolusioner: dari gagasan menuju intelijensi. Suatu hari nanti kita bisa saja tidak membutuhkan kata-kata lagi dalam proses belajar karena data-data ditransfer langsung dari otak-ke-otak atau komputer-ke-otak via bluetooth, misalnya; atau bila kita semua telah bermutasi jadi spesies ekstrasensorial yang satu sama lain berkomunikasi lewat frekuensi telepatis, menciptakan sistem-simbol bahasa-matematika baru yang jauh lebih efisien untuk mengembangkan peradaban. Cuma Bos yang tahu.



Namun sementara ini, kita masih berkecimpung dalam suara-suara. Dan, kembali ke contoh awal, suara-suara yang menyatakan sifat kecil berasal dari mulut yang mengecil plus lidah ketekuk ’nempel ke langit-langit gigi menggigit:

emprit;

sempit;

pelit;

kempit;

cubit;

kulit;

titit.



Maaf dan merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar